Sepenggal Kisah tentang Lare Mentes
Towangsan adalah sebuah desa kecil yang hanya memiliki 6 wilayah
kedukuhan yang terletak 7 kilometer dari pusat kota Kabupaten Klaten.
Penduduk yang masih tinggal umumnya adalah petani penggarap kelas gurem
yang hanya mampu menggarap tanah kurang dari 1 hektar. Sistem
penggarapan tanah yang berlaku adalah sistem bagi hasil kotor. Dengan
sistem bagi hasil kotor pemilik lahan akan menerima setengah dari hasil
panen tanpa mengeluarkan beaya produksi sepeser pun. Sementara petani
penggarap hanya akan menerima setengah hasil panen setelah dikurangi
beaya produksi yang cukup tinggi. Akibatnya pendapatan bersih petani
penggarap per panen umumnya tidak lebih dari 10 persen dari hasil panen.
Hasil yang sedikit itu pun hanya bisa dinikmati secara periodik selama 2
tahun sekali. Karena secara bergiliran tanah subur desa Towangsan
setiap 2 tahun masih dimanfaatkan untuk menanam tembakau milik
perusahaan. Umumnya harga sewa lahan untuk tanam tembakau selama 1 tahun
lebih kecil dari hasil panen padi. Sistem yang tidak berpihak pada petani penggarap dan buruh tani menjadi salah satu faktor yang ikut menentukan kecilnya pendapatan dari sektor pertanian. Sementara pada sisi lain kebijakan desa tidak mampu membendung laju harga kebutuhan pokok yang terus meninggi. Kebijakan yang sama juga tak mampu menandingi gencarnya serbuan arus konsumerisme yang merangsek ke segala aspek kehidupan desa. Kondisi seperti itu menjadikan kebanyakan warga Towangsan cenderung meninggalkan desa dan memilih mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Para ibu dan kaum perempuan kebanyakan memilih menjadi buruh migran dan buruh industri. Sedangkan sektor informal di kota merupakan pekerjaan pilihan kebanyakan kaum lelaki.
Desa pun menjadi sepi dan semakin sedikit yang mempunyai perhatian pada persoalan pengembangan beragam aspek usaha pedesaan. Alih-alih memikirkan pengembangan aspek sosial-budaya, seluruh perhatian dan tenaga sepenuhnya habis untuk berjuang mengais rejeki demi menghidupi keluarga. Kenyataan itu merupakan ironi sebuah negeri agraris, dilema pedesaan. Di satu sisi sektor pertanian sebagai lumbung pangan sebagian terbesar warga negara membutuhkan regenerasi untuk menjaga produktivitas, tapi di sisi lain negara tidak memberikan jaminan daya tarik minat kaum muda untuk menekuni sektor pertanian. Kalau kaum muda saat ini sudah tidak tertarik pada usaha pertanian, maka bukan sebuah pengandaian kalau generasi anak-anak desa pun semakin tidak mengenali lagi kearifan dan potensi desanya.
Berhadapan dengan kenyataan seperti itu sekaligus menyadari akan tugas panggilan sejarah anak manusia untuk mengembangkan diri dan lingkungannya maka kami, Sanggar Lare Mentes, memberanikan diri untuk mewujudkan sebuah gagasan model pendidikan integratif untuk anak-anak desa.
Sanggar menjadikan tahun 2009, sebagai langkah awal untuk ikut ambil bagian dari sebuah gerak perubahan menuju tata kehidupan masyarakat yang lebih baik. Langkah awal yang mulai dilakukan adalah menyelenggarakan sistem pembelajaran reguler untuk anak-anak setingkat Sekolah Menengah yang, karena alasan tertentu, sudah tidak melanjutkan sekolah. Di samping itu Sanggar juga memfasilitasi dinamika belajar-bermain untuk komunitas anak-anak desa.


Komentar
Posting Komentar