Dapur Bagi Masyarakat Jawa
Masyarakat jawa memang memiliki keunikan atau kekhasan tersendiri, mereka acapkali menjalankan kehidupannya dengan menggunakan pola- pola atau pathokan tertentu yang telah mereka ciptakan dan jalankan begitu lama. Pola tersebut dapat tersusun dari bagaimana masyarakat jawa merepresentasikan suatu objek yang ada disekitar mereka. Nah, tidak terpungkiri bahwa pola atau falsafah hidup tersebut datang dari Dapur.
Dapur atau dalam Bahasa jawa disebut dengan istilah “ Pawon,” merupakan bangunan tambahan yang bila ditilik dari tataletak fisiknya selalu berada di bagian belakang. Hal ini, sesuai dengan arti kata “Pawon “ itu sediri. Yaitu tempat per-abu-an, yang sangat identik dengan kondisi tempat yang kotor, sarat dengan jelaga yang menempel tebal di atap maupun di dinding- dindingnya. Dapur yang selanjutnya disebut Pawon, bagi kehidupan masyarakat jawa tidak bisa dilepaskan dari sang pemiliknya, pawon bukan hanya menjadi simbol perwujudtan dari hasil jeripayah kerja masyarakat jawa yang kemudian diindikasikan dengan mengolah atau meracik hidangan maupun hanya sekedar menanak air saja. Akan tetapi, pawon juga merupakan sumber modal kekayaan khasanah pandangan hidup bagi masyarakat jawa. Dari sanalah, kearifan lokal ( local genius) non fisik juga terbentuk, hasil cipta proses keunggulan berdinamika.
Pada umumnya pawon berisi peralatan memasak lengkap dengan bahan olahan, bumbu dan tungku perapiannya. Dalam kesehariaannya, pawon sangat identik dengan keberadaan sosok perempuan atau ibu di dalamnya, di sanalah hidangan- hidangan yang lezat mereka buat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Dari proses dinamika memasak yang terjadi begitu sering dan kuat inilah yang kemudian dapat menghasilkan bentuk kristalisasi dari nilai yang terkandung di dalamnya. Pawon sebagai bentuk representasi tata kehidupan masyarakat jawa, sangatlah memungkinkan untuk dapat menjadi bahan perumpamaan maupun falsafah hidup bagi masyarakat jawa itu sendiri. Salah satu bentuk kepiawaian masyarakat jawa dalam merepresentasikan pawon, dapat kita jumpai dalam beberapa ungkapan atau petuah yang tidak terlepas dari isi pawon itu sendiri. Istilah “ tumbu oleh tutup” misalnya, merupakan suatu ungkapan tata hidup masyarakat jawa untuk menggambarkan kesamaan atau kecocokan sifat antara dua individual. Hal ini menunjukan bahwa pawon dengan segala isi yang ada di dalamnya terbukti mampu menyumbang kearifan lokal yang patut kita jaga kelestariaannya.
Namun saat ini, pawon dalam perkembangannya telah banyak mengalami perubahan, baik dalam fungsi dan tingkat penggunaannya, hal tersebut tidak bisa terpungkiri dari pengaruh arus perkembangan jaman yang semakin mengglobal, kebiasaan dari kebanyakan masyarakat jawa yang konsumtif saat ini, sangat bisa kita rasakan saat melihat orang atau diri kita sendiri memilih cara yang instan untuk menyiapkan hidangan di meja makan dengan cara cukup hanya membeli atau terima jadi. Kelemahan inilah yang sudah saatnya kita hadapi untuk bisa menguranginya, agar kelestarian pawon dalam segala esensinya dapat terus terjaga.
( B. Febrianto )
Dapur atau dalam Bahasa jawa disebut dengan istilah “ Pawon,” merupakan bangunan tambahan yang bila ditilik dari tataletak fisiknya selalu berada di bagian belakang. Hal ini, sesuai dengan arti kata “Pawon “ itu sediri. Yaitu tempat per-abu-an, yang sangat identik dengan kondisi tempat yang kotor, sarat dengan jelaga yang menempel tebal di atap maupun di dinding- dindingnya. Dapur yang selanjutnya disebut Pawon, bagi kehidupan masyarakat jawa tidak bisa dilepaskan dari sang pemiliknya, pawon bukan hanya menjadi simbol perwujudtan dari hasil jeripayah kerja masyarakat jawa yang kemudian diindikasikan dengan mengolah atau meracik hidangan maupun hanya sekedar menanak air saja. Akan tetapi, pawon juga merupakan sumber modal kekayaan khasanah pandangan hidup bagi masyarakat jawa. Dari sanalah, kearifan lokal ( local genius) non fisik juga terbentuk, hasil cipta proses keunggulan berdinamika.
Pada umumnya pawon berisi peralatan memasak lengkap dengan bahan olahan, bumbu dan tungku perapiannya. Dalam kesehariaannya, pawon sangat identik dengan keberadaan sosok perempuan atau ibu di dalamnya, di sanalah hidangan- hidangan yang lezat mereka buat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Dari proses dinamika memasak yang terjadi begitu sering dan kuat inilah yang kemudian dapat menghasilkan bentuk kristalisasi dari nilai yang terkandung di dalamnya. Pawon sebagai bentuk representasi tata kehidupan masyarakat jawa, sangatlah memungkinkan untuk dapat menjadi bahan perumpamaan maupun falsafah hidup bagi masyarakat jawa itu sendiri. Salah satu bentuk kepiawaian masyarakat jawa dalam merepresentasikan pawon, dapat kita jumpai dalam beberapa ungkapan atau petuah yang tidak terlepas dari isi pawon itu sendiri. Istilah “ tumbu oleh tutup” misalnya, merupakan suatu ungkapan tata hidup masyarakat jawa untuk menggambarkan kesamaan atau kecocokan sifat antara dua individual. Hal ini menunjukan bahwa pawon dengan segala isi yang ada di dalamnya terbukti mampu menyumbang kearifan lokal yang patut kita jaga kelestariaannya.
Namun saat ini, pawon dalam perkembangannya telah banyak mengalami perubahan, baik dalam fungsi dan tingkat penggunaannya, hal tersebut tidak bisa terpungkiri dari pengaruh arus perkembangan jaman yang semakin mengglobal, kebiasaan dari kebanyakan masyarakat jawa yang konsumtif saat ini, sangat bisa kita rasakan saat melihat orang atau diri kita sendiri memilih cara yang instan untuk menyiapkan hidangan di meja makan dengan cara cukup hanya membeli atau terima jadi. Kelemahan inilah yang sudah saatnya kita hadapi untuk bisa menguranginya, agar kelestarian pawon dalam segala esensinya dapat terus terjaga.
( B. Febrianto )
Komentar
Posting Komentar