Ditulis Saat Minggu Palma Tanpa Perayaan


“ Aku adalah seorang yang lemah, rapuh dan pendosa yang memiliki hasrat dan kehendak yang besar untuk memuliakan kehidupan sesuai dengan kehendakNya.”
Bagaimana ungkapan ini bisa aku terima? Dan bagaimana caranya agar aku dapat berangsur- angsur menuju kesana?
Pertama, aku adalah subjek yang merdeka. Merdeka disini mengandung arti bahwa sebenarnya aku di dalam diriku mempunyai sebuah ikatan- ikatan yang tidak bisa lepas dari aku di dalam diriku sendiri. Ikatan itu meliputi pertanggungjawaban atas apa yang aku lakukan sebagai manusia. Dan pada dasarnya, manusia itu memiliki panggilan hidup yang tinggi, hal ini didasarkan pada kodrat manusia itu sendiri. 
      Jadi, subjek aku haruslah bisa menjaga diri dan mawas diri. Mawas diri juga berarti dapat mengendalikan diri. Maka aku haruslah sadar diri sebagai subjek yang tidak sempurna. Dan bila aku sudah sadar sebagai subjek yang tidak sempurna, maka sudah layak dan sepantasnya bila aku harus menyadari sebagai seorang yang lemah dan rapuh. Lantas, bagaimana aku sebagai pendosa ? Dalam hal ini aku tidak mau dipusingkan dengan sudut pandang “ Apakah manusia itu terlahir suci- fitrah ( saat masih bayi) ataukah ia sudah mengandung dosa.” Yang paling penting adalah bahwa manusia itu sama sekali tidak bisa tidak berdosa. Pada kongkritnya, manusia sangat rentan untuk berdosa, baik disadari atau tidak. Maka aku didalam aku haruslah menyadari diri sebagai seorang pendosa. Dengan begitu, aku dapat memposisikan diriku dengan baik dan benar dihadapan sesama dan terlebih dihadapan Tuhan.
Kedua, setiap manusia tentu memiliki hasrat yang hadir dari dalam dirinya sendiri. Hasrat ini bisa bermacam- macam arahnya, ada yang mengarah ke hal- hal yang positif dan sebaliknya, tergantung pada kondisi pikirannya. Beda dengan hasrat, sebuah kehendak menurutku tidak bisa hadir begitu saja. Kehendak harus dibagun, diolah dan kemudian dihidupi. Artinya bahwa secara sadar, aku harus menentukan terlebih dahulu apakah aku ingin atau tidak. Bila aku ingin maka aku harus meningkatkan terlebih dahulu keinginan itu menjadi sebuah kehendak. Di sini dapat aku simpulkan bahwa aku harus merespon sebuah keinginan yang muncul dari dalam diriku dengan membentuk tanggapan terlebih dahulu. Tanggapan ini berisi segala sesuatu yang telah aku olah dan timbang sehingga muncul sebuah hasil yang matang untuk pijakan aku bertindak. Dari sinilah aku dapat menentukan kehendak itu sendiri.
Berpikir lebih lanjud. Bila aku adalah seorang yang lemah, rapuh dan pendosa, tetapi mempunyai hasrat dan kehendak yang besar untuk memuliakan kehidupan sesuai dengan kehendakNya, maka bagaimana langkah yang harus ditempuh? Sebenarnya, pertanyaan ini sudah sedikit dijelaskan diparagraf ke- tiga. Aku sebagai persona yang tidak sempurna dan setelah aku menyadari hal itu, maka aku harus rendah hati untuk sedia melakukan segala sesuatu dengan semaksimal mungkin. Karna aku dikaruniai otak dan otot oleh Tuhan, yang dapat aku pakai untuk melakukan segala- galanya. Lantas, apakah benar aku dapat melakukan segala- galanya ? Tidak! Dari situlah sesungguhnya pentingnya aku selalu menyadari dan memposisikan diri sebagai seorang pendosa yang memberikan diri sama sekali seraya berserah pada Tuhan dan berdoa kepadaNya.
Mendasar pada kata memuliakan kehidupan sesuai dengan kehendakNya. Sampai disini aku merasa gusar dengan diriku sendiri. Aku merasa tidak pantas turut andil memuliakan kehidupan ini, apakah juga kehidupan ini belum mulia? Takaran apa yang dapat mengukur hal tersebut? Absurdkah bila aku memuliakan kehidupan? Yang nyata- nyata sudah penuh dengan kemuliaan yang hakiki itu sendiri. Berat bagiku menjawab secara verbal. Namun, lebih jauh lagi, bahwa sudah terjadilah aku. Tuhan telah mengaruniai kehidupan padaku. Sudah sepantasnya bila aku dalam menjalani kehidupan ini selalu berusaha memberikan yang terbaik, sebagai persembahan kepada Sang Pemberi Hidup.


Sumyang, 5 April 2020.
( B. Febrianto )



Komentar

Postingan Populer