Syukuran 9 Tahun Sanggar Lare Mentes
“ Urip Prasojo Mulyake’ Ndeso.” (
Hidup bersahaja memajukan desa,) Itulah tema yang diangkat dalam acara sukuran
9 tahun berdirinya Sanggar Lare Mentes, Desa pundung, Towangsan- Gantiwarno
(12/09/15.) Sesuai dengan tema yang diangkat, acaranya pun tidak luput dari
nilai estetika dan kearifan lokal kehidupan desa yang adiluhung.
Berawal dari festival layang- layang, sebuah permainan tradisional yang mulai ditinggalkan penggemarnya, dahulu permainan ini sering dimainkan anak- anak di daerah pedesaan sewaktu musim panen raya tiba. Di Nusantara sendiri dalam catatan pertama mengenai layang- layang adalah dari sejarah Melayu pada abad ke-17 yang menceritakan sebuah festival layang- layang yang diikuti oleh pembesar kerajaan. Seiring dengan perkembangan zaman yang sangat mengglobal, nasib permainan ini mulai lekang tergantikan dengan permainan yang serba elektronik, semisal game online, playtesion,dan game handphone pada umumnya. Namun lain halnya dengan anak- anak kecil di sekitaran Sanggar, lewat festival Layang- layang ini, para anak diajak untuk mengenal dan menghidupkan kembali permainan yang memiliki nilai keestetikaan tersendiri diantara permainan tradisional lainnya. Layangan dibuat dari bahan baku bambu sebagai kontruksinya, bambu yang telah ditipiskan kemudian di satukan menggunakan benang sebelum layangan ditempeli kertas. Semenjak jam 2 siang, para anak mulai membuat layangan dengan didampingi Lare Ageng sebagai mentornya. Mereka sangat antusias dalam proses membuat layang- layang, bahkan seolah tak peduli dengan segala kesulitan yang mereka temui dalam pembuatan layangannya. Waktu terus bergulir, sore segera tiba. Tampak dari raut wajah beberapa lare alit mulai gelisah, mereka gelisah kerna layangannya tak kunjung jadi, sesekali mereka meminta bantuan pada lare ageng, namun tidak semua permintaannya ditanggapi supaya daya kreativitas para anak terus terasah dan meningkat. Melalui proses pembuatan layangan ini diharapkan para anak tidak hanya terhibur dari sebuah permainan layang- layang yang diterbangkan di langit pesawahan depan sanggar saja, namun mereka juga dididik untuk melatih kesabaran, komitmen serta meningkatkan daya juang mereka.
Pada sesi malam harinya, digelar acara
pentas seni yang menggabungkan beberapa instrument alat musik, kesenian, dan
kebudayaan yang seluruhnya dikemas dengan penuh kesederhanaan namun tetap
Elegan. Dari lare ageng sendiri menampilkan sebuah karya musik garapan sendiri
beserta lagunya, hasil dari tangan- tangan kreatif orang muda.
“Desaku,” sebuah lagu yang dibawakan
oleh penasehat sanggar bapak Binendictus Suharto atau yang akrap disapa pak dhe
Bin sebelum memberikan sambutan dalam bahasa jawa kepada tamu undangan yang menambah
kesan mendalam pada nilai kearifan budaya lokal yang adiluhung. Dalam sambutannya, pak dhe Bin menyiratkan
bahwa siapapun yang hidup merantau suatu saat akan rindu pada kampung halamannya
dan ingin pulang untuk hidup bersahaja di kampung tempat kelahirannya.
Malam semakin merajut, dan musik
garapan sendiri dari lare ageng tak letih menghibur para tamu undangan ditambah
meriahnya tari tradisional yang dibawakan oleh rekan- rekan PPGT Sanata Darma
menambah hipnotis tamu undangan. Sebelum acara puncak yaitu pemotongan tumpeng
oleh penanggung jawap sanggar bapak Jupriyanto, para tamu dijamu dengan suguhan
sego Wiwit, sebuah hidangan untuk mengungkapkan rasa sukur atas berkah yang
melimpah dari Tuhan Yang Maha Kuasa .
Itu semua adalah puncak dari serangkaian
proses dari persiapan hingga larut malam, latihan dari beberapa hari dan
sibuknya para perempuan menyiapkan masakan di dapur. Banyak pelajaran yang bisa
didapatkan dari berdinamika selama acara tersebut. Dan pada akhirnya, semoga
sanggar semakin sukses dalam mendampingi anak , menjadikan anak sebagai subyek
utama yang utuh dan merdeka.
B. Febrianto
Komentar
Posting Komentar